Bengkulu. Tahap penetapan pasangan calon (Paslon) Pilkada Serentak 2020 yang akan berlangsung tanggal 23 September ramai diperbincangkan karena muncul kebijakan yang dilarang dilakukan kepala daerah, yaitu melakukan mutasi pejabat.
Salah satu kepala daerah yang melakukan mutasi adalah Bupati Kaur Gusril Pausi kepada pejabat eselon II Kadispora (Kepala dinas pariwisata pemuda dan olahraga) Kabupaten Kaur, Jon Harimul.
Mutasi tersebut tertuang dalam petikan keputusan bupati kaur nomor : 188.4.45-693 Tahun 2020.
Persoalan ini coba dikonfirmasi oleh Kantor Berita Politik RMOL kepada pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), khususnya Direktur Jendral Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri Akmal Malik.
Akmal mengaku akan melakukan pengecekan kebijakan mutasi pejabat di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu tersebut.
Sebab, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 273/487/SJ tertanggal 21 Januari 2020 tentang Penegasan dan Penjelasan terkait Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.
SE tersebut merupakan kelanjutan dari pasal 71 Ayat 2 UU 10/2016 tentang larangan penggantian struktur pejabat daerah oleh calon petahana yang masih menjadi kepala daerah, terhitung enam bulan sebelum penetapan calon tanpa persetejuan Mendagri
“Kami cek ya,” ujar Akmal secara singkat saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Senin (21/9).
Adapun saat ditanya mengenai penerapan SE Mendagri yang penerapannya masih ada perbedaan tafsir dengan Pasal 71 UU 10/2016, Akmal enggan menjawab.
Namun, berdasarkan bunyi di SE yang ditandatangani Mendagri M. Tito Karnavian itu, ada aturan menganai diperbolehkannya pergantian jabatan apabila terjadi kekosongan jabatan, misalnya akibat meninggal dunia.
Sedangkan dalam Pasal 71 UU 10/2016 hanya disebutkan pergantian jabatan bisa dilakukan dengan persetujuan resmi dari Kemendagri.
Pun jika ada yang melanggar UU tersebut, maka akan dikenakan sanski administrasi dan pidana. Adapun sanksi adsministrasi jika gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Sedangkan sanksi pidana pada pasal 188 berbunyi: setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 (UU 10/2016), dipidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan, dan/atau denda Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6.000.000. dilansir RMOL.ID. [ogi]