Jon Harimul Kadispora Kaur yang diberhentikan belum lama ini membantah pernyataan Sekda Kaur, Nandar Munadi.
“Saya belum pernah dapat teguran baik secara lisan, tertulisan dan tatap muka,” kata Jon kepada RMOLBengkulu, Minggu (20/9).
Jon juga menyampaikan sampai saat ini belum melihat teguran tertulis yang diberikan pada dirinya.
“Buktinya mana kalau memang surat itu dikirim,” ucap Jhon.
Jon juga menyampaikan untuk pelanggaran PNS yang tentu ada mekanisme dan tahapan.
“Tidak langsung kena sanksi, ada teguran lisan, teguran tertulis baru jatuh sanksi dan sanksi juga ada tahpannya satu,dua dan tiga, rendah, sedang dan berat,” jelas Jon.
“Dan tidak boleh diputuskan satu orang tapi keputusan baperjakat apa dan harus dilengkapi administrasi, tidak bisa sepihak, ada daftar hadir dan berita acara,” demikian Jon.
Sebelumnya Sekretaris Daerah (Sekda) Kaur, Nandar Munadi terkait Kadispora Kaur yang diberhentikan bukan mutasi melainkan penjatuhan sanksi.
“Karena yang bersangkutan diminta kelarifikasi oleh inspektorat disurati tiga kali berturut-turut tapi tidak mau hadir,” kata Nandar.
Yang kedua lanjut Nandar “Sesuai dengan himbauan DPRD seluruh eselon II harus aktif mengikuti undangan kegiatan rapat-rapat di dewan, tapi setelah kami cek yang berasangkutan sudah 6 kali tidak hadir, atas keteliduran itu yang bersangkutan dianggap melanggar disiplin PNS,” jelas Sekda.
“Dan bentuk daripada sanksinya adalah pemberhentian dari jabatan,” ucap Sekda.
Sekda mengaku karena ini terkait sanksi tidak perlu izin Kemendagri.
“Iya, masa kalau orang sudah melakukan pelanggaran didiamkan, harus izin, kalau pemberian sanksi tidak ada ketentuan,” jawab Sekda.
Diketahui sebelumnya tinggal menghitung hari lagi tahapan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) penetapan calon pada 23 September. Bupati Kaur, Guzril Fauzi melakukan mutasi kepada pejabat eselon II yaitu Kadispora (Kepala dinas pariwisata pemuda dan olahraga) Kabupaten Kaur, Jon Harimul.
Mutasi tersebut tertuang dalam petikan keputusan bupati kaur nomor : 188.4.45-693 Tahun 2020.
Padahal dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 71 Ayat 2 yang berbunyi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.
Bila kepala daerah petahana melanggar ketentuan mutasi pejabat berdasarkan UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada. Sesuai Pasal 71 Ayat 5, bila melanggar bisa mendapatkan pembatalan atau diskualifikasi sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Selain itu, ada pula ancaman pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta berdasarkan Pasal 190.