Kejutan terjadi ketika koalisi petahana memilih Kyai Ma’ruf Amin sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo dalam Pilpres 2019 mendatang. Alasan dipilihnya Kyai Ma’ruf umumnya ditengarai sebagai jalan tengah parpol-parpol koalisi pemerintah dan akomodasi kelompok Islam, mengingat Kyai Ma’ruf adalah pucuk ormas Islam terbesar, Rois Aam PB NU, serta posisinya sebagai Ketua Umum MUI, sehingga dipercaya dapat mengurai resistensi arus politik Islam yang kian mengental sejak aksi massif 411 dan 212.
Namun, sepertinya tak banyak publik yang tahu cawapres pilihan Jokowi tersebut juga seorang ekonom kawakan dengan gelar akademik mentereng. Kyai Ma’ruf adalah Guru Besar UIN Malang, dengan keahlian ekonomi syariah. Bidang keilmuan dan pengabdian yang membuat UIN Syarif Hidatullah menganugerahi gelar doktor kehormatan bidang ekonomi. Agenda ekonomi ummat, secara konsisten diperjuangkannya melalui ceramah dan pidato di kampus-kampus, melalui regulasi saat duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta diinisiasi nyata lewat program-program di lembaga-lembaga negara dan sosial keagamaan yang dia pimpin, termasuk di Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Jika kita menyimak pengumuman cawapres yang disampaikan langsung Jokowi menjelang deklarasi pasangan Capres-Cawapres, secara jelas diperkenalkan dengan nama Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amien, selain karena kapasitas keulamaan dan pengalaman politiknya yang panjang, juga diharapkan dapat menjadi duet jokowi dalam membangun ekonomi Indonesia.
Arus Baru Ekonomi Indonesia
Sejak menjadi Ketua Umum MUI, Kyai Ma’ruf dalam banyak kesempatan memperkenalkan arus baru ekonomi Indonesia. Hal yang ditegaskan ulang pasca ditetapkan menjadi cawapres. Pada konferensi pers setelah ditetapkan menjadi cawapres Jokowi, kamis malam (9/8/2018) di PBNU, Kyai Ma’ruf mengemukakan, Indonesian membutuhkan arus baru ekonomi, karena arus lama hanya menghasilkan konglomerasi, nihil pemerataan ekonomi. Menurut Kyai Ma’ruf, arus baru tersebut bukan lah untuk melemahkan yang kuat, melainkan untuk menguatkan yang lemah. Konsep ekonomi ummat yang niscaya menjelma menjadi agenda ekonomi kerakyatan andai beliau terpilih dalam pemilu kelak.
Prinsip dasar arus baru ekonomi Indonesia menurut Kyai Ma’ruf bertumpu pada empat hal: Pertama, praktik ekonomi yang berkeadilan. Ma’rufnomics sejatinya adalah gugatan atas sistem ekonomi pasar yang sarat ketidakadilan karena meminimalisir proteksi negara atas pelaku ekonomi menengah ke bawah, sehingga pelaku ekonomi mikro tersisih dari persaingan. Akibatnya kesenjangan semakin membesar, lalu mendorong segelintir populasi menguasai mayoritas kapital.
Secara faktual, indeks kesenjangan ekonomi di Indonesia berdasarkan data World Bank tahun 2017 sebesar 4,2. Indeks GINI Indonesia ini sudah masuk pada tahap membahayakan dan salah satu yang terburuk di Asia. Kesenjangan yang makin dalam tersebut dapat berkonsekuensi langsung pada kerawanan sosial dan politik, bahkan negara gagal. Ketimpangan ini, tentu saja hanya dapat diatasi dengan perubahan kebijakan ekonomi yang berpihak dan berkeadilan.
Kedua, terjadinya kemitraan antara pelaku ekonomi. Berbeda dengan konsep sosialisme yang lebih mengedepankan pertentangan kelas, konsep ekonomi ma’ruf mengedepankan kemitraan. Pola kemitraan ini mensyaratkan campur tangan pemerintah, agar tidak terus berlangsung kompetisi terbuka diantara pelaku ekonomi besar dan kecil. Keperpihakan pemerintah lah yang diharapkan menarik usaha besar bermitra dengan usaha kecil.
Ketiga, nilai dan moral harus hadir dalam praktik perekonomian. Sebagai bangsa yang memiliki akar dan nilai luhur, termasuk di lapangan ekonomi, sudah sepatutnya nilai-nilai Pancasila dan ajaran agama menjadi sumber penyusunan aturan main ekonomi, serta tuntunan para pelaku ekonomi. Kyai Ma’ruf meyakini, sistem ekonomi tidak lah bebas nilai. Korupsi, praktik ekonomi biaya tinggi, monopoli, dan oligarki ekonomi adalah contoh ekspresi kegiatan ekonomi yang abai nilai dan moral.
Keempat, peran lembaga keuangan syariah. Kerapuhan sistem kapitalisme yang ditunjukkan kasat mata pada krisis ekonomi 97 memberi pelajaran bagi bangsa Indonesia, betapa diperlukannya sistem alternatif. Kyai Ma’ruf merupakan bidan ekonomi syariah Indonesia, terbukti nyaris seluruh kelahiran Bank Syariah Nasional lahir dengan campur tangannya. Sistem ekonomi syariah yang kompatible dengan nilai ekonomi pancasila, dalam praktiknya tidak saja melibatkan pelaku ekonomi beragama Islam, namun secara luas sudah dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Menurut data Bank Indonesia, pertumbuhan perekonomian syariah meningkat pesat dalam dua puluh tahun terakhir, melebihi industri keuangan konvensional. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2017 menyebut keuangan syariah tumbuh sebesar 27%. Faktor kepercayaan ditengarai menjadi alasan utama pertumbuhan tinggi tersebut, disamping alasan agama.
Menyeimbangkan Makro dan Mikro Ekonomi
Secara makro ekonomi, Kyai Ma’ruf ingin Indonesia melepaskan diri dari ketergantungan impor. Menurutnya, Indonesia punya semua alasan untuk mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri dari produksi dalam negeri. Sebuah ironi, negara agraris seperti Indonesia kini belum juga mampu sepenuhnya melepaskan diri dari impor pangan, khususnya tiga komoditas utama, beras, jagung dan kedele.
Begitu pula dengan pemanfaatkan seluruh kekayaan alam yang dimiliki negara untuk kemakmuran rakyat. Kyai Ma’ruf sepenuhnya mendukung upaya penciptaan nilai tambah pada sektor pertambangan, pertanian dan perkebunan. Nilai tambah ini tentu bisa terwujud jika terjadi industrialisasi dan intervensi teknologi.
Bergeraknya perekonomian rakyat melalui re-distribusi tanah, tentu saja secara langsung bisa mengurangi volume impor pangan. Berkurangnya volume impor yang menggunakan dollar amerika, dapat mengurangi tekanan nilai tukar. Idealnya nilai tukar, nyata-nyata merupakan salah satu faktor kunci pada kendali makro ekonomi Indonesia.
Gagasan ekonomi Kyai Ma’ruf dapat menjadi jembatan dua kutub bandul ekonomi yang hanya fokus pada ekonomi makro, dengan desakan pemerataan ekonomi yang tentu mesti bertumpu pada ekonomi mikro, bahkan pada hiden economy yang tak pernah dihitung karena bukan pembayar pajak, seperti penjual pecel lele.
Oleh: Ton Abdillah Has
*Penulis adalah Koordinator Koalisi Nasional Relawan Muslim Indonesia (Konas RMI), Ketua DPP Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), mantan Ketum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)