Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh atau Dalam Jaringan (Daring) yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kabupaten Bengkulu Utara, pada masa pandemi Covid-19 dikeluhkan orang tua siswa. Pasalnya, pembelajaran secara Daring dinilai tidak maksimal dan dapat memberikan dampak negatif terhadap psikologis anak maupun orang tua.
Salah satu orang tua siswa, Yani warga Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu mengeluhkan pembelajaran jarak jauh atau secara Online (daring). Yang diterapkan dari tahun 2020 sampai sekarang atau selama pandemi Covid -19. Pembelajaran secara daring tersebut, selain pembelajarannya dinilai tidak maksimal, juga berdampak pada Psikologisnya.
“Saat diberlakukannya belajar secara online atau secara Daring, membuat saya tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Apalagi kondisi kehidupan saya biasa-biasa saja dengan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, belum lagi harus mengajari anak untuk belajar. Karena saya latar belakangnya bukan seorang guru, sehingga ketika mengajari anak sering emosi,”kata Yani
Menurutnya, selama diberlakukannya pembelajaran secara Daring, terkadang sering bertengkar dengan suami, karena sebagian waktunya banyak difokuskan untuk mendampingi anaknya yang terkadang tidak memahami pembelajaran.
“Iya, sudah seharusnya ketika suami saya ingin makan bersama wajib bagi saya untuk mendampingi suami saya. Apalagi saya memiliki anak yang masih berumur 6 bulan, tentu saya harus berbagi waktu mendampingi anak saya belajar secara Daring. Tentu hal ini membuat saya tertekan,”ujarnya.
Dengan adanya kebijakan yang diterapkan pemerintah tersebut, lanjut Yani, pihaknya tidak menyalahkan pemerintah yang saat ini sedang fokus untuk memutus mata rantai Covid-19. Dengan diberlakukannya pembelajaran secara Daring, dirinya merasa keharmonisan keluarga dan pekerjaannya mulai terganggu.
“Memang saya akui, anak saya menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Tapi, harapan saya menyekolahkan anak saya agar dapat diberikan pembelajaran penuh oleh pihak sekolah atau guru sesuai fungsinya dan kemampuannya. Karena saya hanya ibu rumah tangga, bukanlah guru,”ungkapnya.
Oleh karena itu, tambah Yani, dirinya berharap kepada pemerintah agar dapat memberikan solusi untuk melakukan pembelajaran secara tatap muka agar anaknya bisa berinteraksi dengan guru dan siswa lainnya saat belajar.
“Saya berharap pemerintah dan pihak-pihak terkait, dapat memberikan solusi untuk membuka pembelajaran secara tatap muka lagi. Sehingga pekerjaan rumah saya tidak terganggu dan keluarga saya bisa harmonis kembali,”ungkapnya.
Senada pula dengan komala, ia terpaksa mengeluarkan kocek tambahan untuk mengeleskan anaknya yang baru masuk Sekolah Dasar (SD). Itu dilakukan karena sebagai ibu rumah tangga, tentu tidak punya metode yang jitu untuk melancarkan baca anaknya.
” Awalnya saya selalu emosi, karena apa yang saya ajarkan ke anak sulit diserap,” kata dia. Namun, tambahnya, setelah dileskan kepada orang yang latar belakangnya memang guru, hasilnya berbeda.
Seharusnya, tambah Komala, ini merupakan tanggung jawab pihak sekolah atau Dindikbud. Meskipun mereka memberikan pelajaran secara Daring, sesekali wajib tatap muka untuk memberikan atau mengetahui perkembangan belajar anak didiknya secara bergilir.
‘Ya sekali atau dua kali dalam seminggu harus digelar, dengan cara setiap pertemuan dilakukan kepada lima atau berapa orang siswa,” kata dia.